Sunday, March 25, 2007

Spiritual Experience?

“We are not human beings having a spiritual experience,
we are spiritual beings having a human experience”.
Teilhard de Chardin

Memang banyak orang menyangka kalau kehadirannya sebagai manusia bermula sejak ia dilahirkan secara biologis, atau setidak-tidaknya sejak ia terbentuk sebagai janin di dalam rahim ibunya. Banyak orang menyangka keberadaan dirinya bermula sebagai keberadaan fisik material. Padahal sesungguhnya manusia adalah makhluk spiritual, yang sudah dicipta di sisi Tuhan jauh sebelum tubuh biologisnya dicipta di bumi. Manusia adalah makhluk langit. Tubuh biologis adalah cangkang yang mewadahi keberadaan manusia selama di muka bumi. Ada saatnya tubuh akan mati, terkubur dan hancur di bumi, menyatu lagi dengan tanah yang menjadi asalnya. Sedangkan sang manusia ruhaniah akan kembali lagi ke Allah penciptanya. Kematian bukan kepergian, tapi kepulangan.

Tak heran kalau dalam masa kehadirannya di bumi manusia lebih banyak memiliki pengalaman-pengalaman spiritual daripada pengalaman biologis yang material. Bahkan pengalaman biologis pun sebenarnya dialami dan dirasakan oleh ruh. Lezatnya makanan adalah sensasi saraf di lidah terhadap komposisi kimiawi makanan, kemudian sensasi itu diteruskan ke otak, lalu otak merefleksikannya ke ruh, dan ruh menginterpretasi dan menamakan sensasi tersebut menjadi rasa. Indahnya lantunan musik adalah gelombang-gelombang suara yang diterima oleh saraf pendengaran, lalu dikonversi menjadi impuls-impuls listrik menuju otak, dan otak merefleksikannya ke jiwa, untuk kemudian jiwa merasakan dan menikmatinya. Semua pengalaman biologis pada dasarnya adalah pengalaman ruhaniah. Semua indera jismani adalah sensor yang mendeteksi rangsang, sedangkan ruh adalah main processor yang mengolah dengan kesadaran, perasaan, nalar, keyakinan, bahkan motivasi dan kemauan. Namun karena kekurang jelian banyak orang menyangka pengalaman-pengalaman biologis adalah otonom, atau terbebas, dari peran jiwa.

Orang-orang yang sadar dan waspada (bahasa Jawa: eling lan waspodo) tidak akan terkecoh semudah itu. Di dalam sejarah peradaban manusia sejak dulu, di setiap jaman di segala bangsa, selalu saja ada manusia-manusia yang melakukan pencarian terhadap hakikat (the seeker, al-murid). Mereka tak henti-hentinya melakukan perjalanan (suluk) menelusuri relung-relung kehidupan manusia hingga ke kedalaman jiwanya, menembus pemikiran dan perasaannya, keinginan dan hasratnya, hingga ke pusat kesadaran dan keyakinannya. Mereka tak mau terjebak oleh pengalaman-pengalaman fisik belaka. Karena:
Melihat adalah terbutakan oleh warna
Mendengar adalah tertulikan oleh suara
Mengecap adalah terhambarkan oleh rasa

Para penjelajah itu sering disebut sufi, avatar, santo, budha, dan lain-lain. Mereka membawa cahaya, bukan warna; membawa makna, bukan suara; membawa pengalaman, bukan rasa. Orang-orang seperti ini selalu ada, meski seringkali tersembunyikan oleh gemuruh mesin-mesin modernisasi.

Sejarah juga membuktikan, tidak ada penguasa atau raja tertinggi di suatu negeri yang tak berguru dan tak berkonsultasi kepada orang-orang seperti itu. Di Romawi para kaisar selalu memiliki filosof-filosof yang menjadi konsultannya. Raja-raja jawa selalu memiliki resi dan begawan tempat bertanya. Para kepala suku Indian, juga di Afrika dan pedalaman Irian, selalu didampingi para dukun tempat bertanya kapan memulai sebuah perburuan, bahkan peperangan. Karena bagi mereka, yang sering disebut ‘orang-orang primitif’, peperangan pun bernilai sakral, tidak lepas dari kerangka spiritualitas, apalagi semata didorong hasrat keserakahan.

Kini banyak manusia di dunia, khususnya muslim di negeri-negeri Islam, merasa sakit. Sakit karena merasa tertekan oleh kejayaan material bangsa-bangsa Barat. Sakit karena merasa miskin dan tertindas. Sakit karena merasa tak mampu memunculkan rasa aman di dalam diri sendiri. Sakit karena konflik-konflik internal di tubuh umat seakan tak ada habisnya. Bayangkan, bagaimana sakitnya mata saat tersilaukan oleh cahaya yang sangat kuat. Cahaya itu adalah cahaya materialisme, sekulerisme, dan hedonisme. Cahaya yang mengundang dan menjanjikan banyak kebahagiaan, tetapi ketika di dekati membakar hangus jiwa-jiwa yang sudah meradang, merobek-robek cinta dan kemanusian yang luhur, lalu membatukannya menjadi bara dengki dan keserakahan, melumerkannya menjadi jelanta marah dan kebencian.

Sakitnya umat ini karena mengekor Barat, mengejar keunggulan materialisme dan hedonisme sambil mengabaikan spiritualitas yang diwariskan oleh para ulama salaf. Tengoklah lagi sejarah penyebaran Islam ke berbagai pelosok dunia. Islam dibawa oleh para pedagang dan para sufi pengelana. Bahkan ketika dunia Islam berjuang memerdekakan diri dari kolonialisme di awal abad 20, tokoh-tokoh perlawanan Islam yang berjuang di sepanjang koridor Marokko- Merauke didominasi oleh para sufi. Di Indonesia, Islam dibawa masuk oleh para sufi, disemaikan di bumi pertiwi oleh para sufi, dikawal melewati masa Hinduisme dan konialisme oleh para sufi, bahkan dibangkitkan kembali di awal kemerdekaan oleh para sufi. Sayangnya kesufian mereka tak banyak diketahui orang, karena mereka lebih menampakkan peran nyata sebagai politisi, guru, dan tokoh masyarakat. Ironisnya, justeru akhir-akhir ini lebih banyak juru klenik dan dukun magik yang mengaku sufi. Hal demikian ini menyebabkan banyak muslim Indonesia merasa asing dengan tasawuf, dan banyak yang terperangah heran ketika wacana-wacana ketasawufan diangkat kembali.

Tak ada bangsa yang menjadi besar dengan mengabaikan nilai-nilai luhur yang pernah menjayakan mereka di masa lalu. Umat Islam tak akan menjadi umat yang kokoh manakala mengabaikan nilai-nilai luhur aqidah, syariah, dan tasawuf. Muslim masa awal berjaya karena mendapat bimbingan langsung dari Nabi Muhammad s.a.w. yang sebagai rasululullah menjalankan tiga fungsi: tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (mensucikan jiwa orang-orang yang mengikutinya), dan ta`lim (mengilmui mereka dengan hukum dan hikmah)- lihat QS al-Jum`ah/62:2.

Saat ini tilawah sudah banyak digantikan oleh teknologi multi media berupa buku, kaset, internet, VCD, dan lain-lain. Ta`lim masih banyak dilakukan oleh para ustadz di berbagai majlis taklim. Persoalannya adalah siapa yang men-tazkiyahumat ini? Dulu para sahabat nabi sebelum mendapatkan taklim yang membuat mereka paham tentang banyak hukum dan hikmah, mendapatkan tazkiyah lebih dulu, sehingga dengan jiwa yang suci mereka mudah memahami isi taklim dan termotivasi kuat mengamalkannya. Kini umat belajar agama dengan duduk di depan perangkat multi media, dibimbing taklim oleh para mu`allim, tapi karena jiwa-jiwa mereka belum ter-tazkiyah-kan, lalu apa jadinya? Banyak informasi yang didapat tapi tak menjadi pengetahuan yang membuat orang dapat memahami relitas dengan cepat dan membuat keputusan dengan tepat. Banyak hukum dipahami namun membuat orang sibuk berdepat saling menyalahkan, akhirnya yang muncul kemarahan dan kebencian, sementara pengamalan terlewatkan. Hikmah banyak diwacanakan tapi sebatas bualan yang tak terasakan.Tashawuf dan sufi tak ternafikan dalam sejarah, tak terelakkan di masa sekarang dan mendatang.

Friday, March 23, 2007

Wali Mursyid itu perlu

Seorang saudaraku bertanya:

APAKAH ADA PERADABAN YG LEBIH BAIK DARI ISLAM? TIDAK!! Hmm..kadang aku berpikir, apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun satu peradaban baru hanya dalam waktu
23 tahun...?

Sekadar ikutan sharing kutulis:

Barangkali kuncinya seperti tergambar dalam surat al-Jum'ah / 67:2. Beliau menjalankan tiga tugas utama:

1. Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk 'langit', dan meyakinkan mereka tentang kebanaran ayat-ayat 'langit' itu.
2. Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang memotivasi orang untuk mengamalkannya.
3. Taklim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah).

Sekarang ini fungsi tilawah telah banyak tergantikan oleh berbagai media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah dibukukan, dikasetkan, di-CD/VCD-kan, didigitalkan. Orang dapat mengaksesnya secara langsung. Untuk membacanya pun sudah banyak tersedia kursus-kursus yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat.

Fungsi taklim masih berjalan terus, bahkan makin banyak ustadz yang memimpin majlis-majlis taklim, baik langsung maupun menggunakan fasilitas distance learning melalui radio/tv dan internet.

Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah. Rasulullah s.a.w. mentazkiyah jiwa para sahabat sebelum mentaklim mereka. Jiwa para sahabat sudah tersucikan lebih dulu sebelum mendapatkan taklim. Tapi siapa yang mentazkiyah diri kita saat ini? Untuk tilawah kita dapat menggunakan berbagai multi media ayat yang banyak tersebar dengan harga murah. Untuk taklim kita dapat mendatangi majlis taklim, halaqah, liqa', dan mabit; menjumpai para ustadz dan murabbi. Tapi semua itu kita lakukan dengan qalbu yang kotor karena tidak mengalami tazkiyah lebih dulu.

Adakah para ustadz/kyai itu dapat mentazkiyah jiwa kita. Apakah para murabbi kita juga sudah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang kita katakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah-ibadah yang ada dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah sendiri. Betulkah? Bagaimana kita dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah kalau masih banyak kototan jiwa? Jadi berputar-putar dong, untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun ibadah diperlukan tazkiyah lebih dulu...

Kita katakan tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu ada orang yang mentazkiyah kita, karena kita memang belum mengetahui pentingnya dua hal itu. Rasulullah s.a.w. mendapatkan tilawah, tazkiyah, dan taklim dari malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasul s.a.w. Para tabi'in dari para sahabat... begitu seterusnya. Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyah kita saat ini? Kadang kita terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dan orang yang mentazkiyah, karena hubungan kita dengan Allh SWT bersifat langsung dan individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah kita, dengan segala kekotoran kita dapat terhubung langsung dengan Allah? Bukankah Rasulullah s.a.w. sebelum mikraj pun ditazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril?

Masukilah rumah lewat pintunya. Pelajarilah agama melalui sumbernya. Seraplah cahaya ilahiah melalui salurannya. Mursyid itu perlu... Kita gak kan pandai tanpa guru (bukankah dikatakan, siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan...). Jiwa tak kan terbersihkan tanpa ada yang men-tazkiyah-nya.

Tentu jangan sembarang orang kita jadikan mursyid. Bagaimana ia akan men-tazkiyah diri kita kalau dia pun belum tersucikan jiwanya. Carilah mursyid yang berkualifikasi wali. Bukan wali murid, atau wali nikah, tapi wali Allah... Tapi bagaimana kita mengetahui seseorang itu wali Allah, jangan-jangan kita malah terjebak oleh pengkultusan yang menyesatkan? Tunggu tulisan berikutnya...


Wallahi `a'lam bi ash-shawaab.

Monday, March 19, 2007

Kultus

Kultus berasal dari to cult yang bermakna memuji dengan amat sangat, mengagungkan secara berlebihan, memuliakan dengan segala kehormatan terhadap seseorang, biasanya tokoh-tokoh yang berjasa besar bagi kemanusiaan atau berprestasi tinggi melebihi batas kemanusiaan umumnya.

Peng-kultus-an terhadap individu dapat menghilangkan kejernihan cara pandang terhadap obyek dyang dikultuskan, menyingkirkan keadilan dalam penyikapan. Kultus individu dapat membuat kelam kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan sebagai akibat dari sikap membabi buta tanpa perspektif keadilan.

Keberagamaan berdasarkan kultus membuat orang meninggalkan keberagamaan yang rasional, mengarahkan orang pada keberagamaan yang emosional penuh sedu sedan tanpa karya positif yang kontributif. Peradaban besar tak mungkin dibangun dengan "emosi" keagamaan yang mengutamakan rasa haru dan "sedu-sedan".

Saturday, March 17, 2007

Memaknai Musibah

Bagaimana mungkin memahami musibah sebagai rahmat Tuhan untuk manusia, baik yang pendosa maupun yang baik-baik. Apa pula arti musibah bagi orang yang tidak terkena musibah, juga apa arti musibah bagi alam semesta?

Musibah berasal dari Bahasa Arab ashaba yang artinya suatu keadaan yang mengenai seseorang, baik berupa sesuatu yang menyenangkan maupun sesuatu yang tidak menyenangkan. Orang di Indonesia biasanya hanya mengartikan musibah sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan atau berkonotasi negatif.

1. Musibah bagi orang yang berdosa.
Musibah adalah hukuman atas dosa-dosa kejahatan yang telah dibuatnya. KUBIK berpendapat, mengutip teori hukum kekekalan enerji, setiap orang yang berbuat jahat sesungguhnya sedang menambahkan tabungan enerji negatifnya yang suatu saat kelak tabungan enerji negatif itu akan mengalami pencairan. Musibah adalah pencairan tabungan enerji negatif.

Namun dengan dihukumnya orang itu berarti terkikislah dosanya. Semakin berat musibah yang mengenainya semakin banyak pula dosanya yang terkikis. Ia menjadi bersih dan suci kembali. Kalaupun akibat musibah itu ia mengalami kematian, maka ia mati tanpa dosa. Ia mangalami kematian sebagai seorang syahid / martir. Kalaupun setelah musibah itu ia tetap hidup, maka ia akan hidup dalam dalam kemuliaan di mata Tuhan karena tak ada lagi dosa padanya.

Memang kematian menyedihkan, tetapi bukankah kita memang akan mati. Kehidupan dunia ini bukan selamanya. Begitu juga kehilangan harta benda, betapapun kita sangat memerlukannya tetap saja harta benda bukan satu-satunya faktor penentu untuk memjalani kehidupan dunia dengan bahagia dan bermakna.

Jadi musibah yang berupa azab/hukuman atas dosa-dosa itu sebenarnya adalah rahmat (kasih sayang) Allah atas manusia. Hukuman yang Tuhan berikan bukan dimaksud dendam Tuhan kepada manusia, namun cermin sifat adil Tuhan untuk manusia yang setelah diberikan kebebasan berkehendak harus juga mempertanggungjawabkan penggunaan kebebasannya. Tuhan Maha Penyayang terhadap orang-orang yang menjadi korban kejahatan, maka untuk mereka disiapkan balasan pahala; juga kepada yang berbuat jahat, itu sebabnya didatangkan musibah untuk mengikis dosa-dosa mereka.

2. Musibah bagi orang yang tidak berdosa.
Kecuali para nabi dan wali, mungkin tak ada manusia yang tak berdosa. Namun terkadang anak-anak kita bertanya: "Ma, mengapa tetangga kita yang baik itu masih juga tertimpa musibah, ya? Padahal yang jahat saja justeru selamat dari kecelakaan pesawat terbang itu."

Musibah bagi orang yang baik-baik adalah bala' (artinya ujian atau cobaan). Suka atau tidak suka kehidupan dunia ini memang bukan kehidupan sesungguhnya yang abadi. Kehidupan di dunia ini fana (sementara) dan hanya ajang ujian untuk Allah mengetahui siapa yang sungguh-sungguh berkualitas dan bernilai tinggi. Seorang ahli logam mulia sudah mengetahui bedanya emas dan logam lain. Untuk memisahkan emas maka keseluruhan logam dibakar hingga meleleh dan mencair. Saat itulah material-material yang bukan emas akan terlepas dan memisahkan diri dari emas. Hanya dengan dibakarlah orang dapat mengetahui mana emas murni dan mana emas yang banyak campurannya. Jangan mengaku emas bila takut api!

"Apakah manusia menyangka mereka akan dibiarkan begitu saja berkata: 'Kami beriman' padahal belum diuji?" (al-Qur'an).

3. Musibah bagi orang yang tidak terkena musibah.
Ketika menyaksikan dahsyat kehancuran yang muncul akibat tsunami di Aceh semua orang terperangah, perasaan mereka menciut, keangkuhan terporak. Orang merasa kecil dan tidak berdaya. Musibah adalah cara Tuhan mendemonstrasikan kekuasanNya sekaligus menggertak orang-orang yang sombong.

Kita tak suka orang yang sombong. Ketika menyaksikan orang sombong menunjukkan polahnya di depan kita, kita membencinya. Tapi masalahnya, kita juga sering berbuat sombong di depan orang lain. Jadi, jangankan untuk mengikis kesombongan diri kita, untuk menyadari bahwa kita sedang sombong pun bukan hal yang mudah. Sampai ketika kita menyaksikan musibah barulah saat itu kita dapat menyadari kerendahan dan ketidakberdayaan kita, lalu menyadari bahwa apa yang selama ini kita perbuat sudah melampaui batas kewajaran. Tuhan menyayangi kita dengan menyadarkan kita akan kesombongan kita. Kalau tak pernah menyaksikan musibah, mungkin kita akan merasa paling baik terus, dan paling yakin akan masuk sorga karena merasa tak pernah berbuat dosa.