Saturday, March 17, 2007

Memaknai Musibah

Bagaimana mungkin memahami musibah sebagai rahmat Tuhan untuk manusia, baik yang pendosa maupun yang baik-baik. Apa pula arti musibah bagi orang yang tidak terkena musibah, juga apa arti musibah bagi alam semesta?

Musibah berasal dari Bahasa Arab ashaba yang artinya suatu keadaan yang mengenai seseorang, baik berupa sesuatu yang menyenangkan maupun sesuatu yang tidak menyenangkan. Orang di Indonesia biasanya hanya mengartikan musibah sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan atau berkonotasi negatif.

1. Musibah bagi orang yang berdosa.
Musibah adalah hukuman atas dosa-dosa kejahatan yang telah dibuatnya. KUBIK berpendapat, mengutip teori hukum kekekalan enerji, setiap orang yang berbuat jahat sesungguhnya sedang menambahkan tabungan enerji negatifnya yang suatu saat kelak tabungan enerji negatif itu akan mengalami pencairan. Musibah adalah pencairan tabungan enerji negatif.

Namun dengan dihukumnya orang itu berarti terkikislah dosanya. Semakin berat musibah yang mengenainya semakin banyak pula dosanya yang terkikis. Ia menjadi bersih dan suci kembali. Kalaupun akibat musibah itu ia mengalami kematian, maka ia mati tanpa dosa. Ia mangalami kematian sebagai seorang syahid / martir. Kalaupun setelah musibah itu ia tetap hidup, maka ia akan hidup dalam dalam kemuliaan di mata Tuhan karena tak ada lagi dosa padanya.

Memang kematian menyedihkan, tetapi bukankah kita memang akan mati. Kehidupan dunia ini bukan selamanya. Begitu juga kehilangan harta benda, betapapun kita sangat memerlukannya tetap saja harta benda bukan satu-satunya faktor penentu untuk memjalani kehidupan dunia dengan bahagia dan bermakna.

Jadi musibah yang berupa azab/hukuman atas dosa-dosa itu sebenarnya adalah rahmat (kasih sayang) Allah atas manusia. Hukuman yang Tuhan berikan bukan dimaksud dendam Tuhan kepada manusia, namun cermin sifat adil Tuhan untuk manusia yang setelah diberikan kebebasan berkehendak harus juga mempertanggungjawabkan penggunaan kebebasannya. Tuhan Maha Penyayang terhadap orang-orang yang menjadi korban kejahatan, maka untuk mereka disiapkan balasan pahala; juga kepada yang berbuat jahat, itu sebabnya didatangkan musibah untuk mengikis dosa-dosa mereka.

2. Musibah bagi orang yang tidak berdosa.
Kecuali para nabi dan wali, mungkin tak ada manusia yang tak berdosa. Namun terkadang anak-anak kita bertanya: "Ma, mengapa tetangga kita yang baik itu masih juga tertimpa musibah, ya? Padahal yang jahat saja justeru selamat dari kecelakaan pesawat terbang itu."

Musibah bagi orang yang baik-baik adalah bala' (artinya ujian atau cobaan). Suka atau tidak suka kehidupan dunia ini memang bukan kehidupan sesungguhnya yang abadi. Kehidupan di dunia ini fana (sementara) dan hanya ajang ujian untuk Allah mengetahui siapa yang sungguh-sungguh berkualitas dan bernilai tinggi. Seorang ahli logam mulia sudah mengetahui bedanya emas dan logam lain. Untuk memisahkan emas maka keseluruhan logam dibakar hingga meleleh dan mencair. Saat itulah material-material yang bukan emas akan terlepas dan memisahkan diri dari emas. Hanya dengan dibakarlah orang dapat mengetahui mana emas murni dan mana emas yang banyak campurannya. Jangan mengaku emas bila takut api!

"Apakah manusia menyangka mereka akan dibiarkan begitu saja berkata: 'Kami beriman' padahal belum diuji?" (al-Qur'an).

3. Musibah bagi orang yang tidak terkena musibah.
Ketika menyaksikan dahsyat kehancuran yang muncul akibat tsunami di Aceh semua orang terperangah, perasaan mereka menciut, keangkuhan terporak. Orang merasa kecil dan tidak berdaya. Musibah adalah cara Tuhan mendemonstrasikan kekuasanNya sekaligus menggertak orang-orang yang sombong.

Kita tak suka orang yang sombong. Ketika menyaksikan orang sombong menunjukkan polahnya di depan kita, kita membencinya. Tapi masalahnya, kita juga sering berbuat sombong di depan orang lain. Jadi, jangankan untuk mengikis kesombongan diri kita, untuk menyadari bahwa kita sedang sombong pun bukan hal yang mudah. Sampai ketika kita menyaksikan musibah barulah saat itu kita dapat menyadari kerendahan dan ketidakberdayaan kita, lalu menyadari bahwa apa yang selama ini kita perbuat sudah melampaui batas kewajaran. Tuhan menyayangi kita dengan menyadarkan kita akan kesombongan kita. Kalau tak pernah menyaksikan musibah, mungkin kita akan merasa paling baik terus, dan paling yakin akan masuk sorga karena merasa tak pernah berbuat dosa.

1 comment:

Anonymous said...

Wah kebetulan sekali judul tulisan ustadz sama dengan judul yang saya tulis di blog saya. Saya jadi tambah ilmu. Terima kasih.